Minggu, 27 Oktober 2019

Sepenggal Kisah Soekarno di Bayah

Awal tahun 1944, seorang pria gagah berkarisma dengan menggunakan kemeja putih, celana pendek, kaos kaki putih dan topi bundar tercatat nomor 970 dengan badan tegap berpidato dengan lantang.

"Saudara-saudara harus ingat bahwa tiap-tiap keringat yang saudara teraskan di tanah bumi ini menjadi racun bagi musuh. Sekarang kenaikan tangan saudara semuanya, mari kita dengungkan bersama-sama semboyan kita, hancurkanlah musuh kita yaitu Inggris, Amerika, Belanda," katanya (penggalan pidato)

Orang-orang berbondong keluar dari rumah yang berdinding bilik dan beratap anyaman dengan berbaris rapi mendengarkan suara lantang pria itu.

Ya, dia adalah Soekarno yang getol melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Selama sepekan tinggal di Bayah, tak lain maksudnya untuk memobilisasi masa dalam menghadapi perang Asia Pasifik.

Pasalnya, Sukarno menyokong Jepang dalam membangun kereta api jalur Saketi-Bayah sejauh 89 km itu lantaran menganggap Jepang lebih menjanjikan ketimbang Belanda soal kemerdekaan.

Disamping itu juga, Sukarno memiliki kekaguman tersendiri pada Jepang, yang dalam waktu cukup singkat bisa menaklukkan Belanda. Ia melihat kedatangan Jepang di Indonesia sebagai pintu masuk menuju kemerdekaan.

(Gambar Soekarno di Bayah)

Tapak Tilas Jalur Kereta Api Peninggalan Jepang di Bayah

Tepat pada 1 april 1944, penjajah Jepang resmikan jalaur Kereta Api lintas Saketi-Bayah dengan jarak tempuh mencapai 89 km. Pasalnya, lintasan ini didirikan tak lain untuk mengangkut batu bara dari wilayah Bayah untuk pasokan Perang Dunia II.

Lintasan Kereta Api tersebut dibangun pada tahun 1943-1944 hingga akhirnya diresmikan. Untuk membangunnya, Jepang mengerahkan puluhan ribu romusa (pekerja paksa) dan menelan korban 60.000 penduduk Indonesia. Dan Setiap harinya, lokomotif itu mampu mengangkut 300 ton batu bara.

Pasca kemerdekaan, pada tahun 1945-1946 jalur ini dikelola oleh Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI), namun sempat berhenti beroperasi di tahun 1946-1947 lantaran kekacauan situasi peperangan. Kemudian, pada tahun 1948 beroperasi kembali. Hingga akhirnya di tahun 1951 ditutup karena pemasukan yang minim, sementara biaya operasionalnya tinggi.

(Gambar bekal jalur lalulintas Kereta Api pada masa kolonialisme Jepang)

Tapak Tilas Tan Malaka di Bayah

Bayah merupakan sepenggal sejarah tentang batu bara. Sebanyak 60 ribu warga menjadi korban eksploitasi kekayaan bumi tersebut. Salah satunya adalah penderitaan bagi romusa yang bekerja dan meregang nyawa. Tak heran memang jika pendatang selalu menjadi penguasa dan pribumi menjadi budak.

Bentuk konkret adanya sebuah penderitaan di Bayah adalah Tugu Tan Malaka atau masyarakat sering menyebutnya dengan Tugu Romusa.

Pada tahun 1946, Tugu setinggi 3 meter yang berbentuk Limas segi 4 itu dibahgun untuk mengenang perjuangan dari berbagai elemen masyarakat dalam melawan penjajahan Jepang.

Tugu dengan dinamakan Tan Malaka, tak lain guna mengenang keberadaan tokoh kiri yang memimpin perjuangan para romusa untuk melawan penderitaan kezaliman Jepang dengan menggunakan nama samaran Iljas Husein atau Ibrahim.

Sementara itu, masyarakat menyebutnya dengan Tugu romusa sebagai simbol adanya perjuangan yang dibalut penderitaan yang dipaksa membangun jalur kereta api Saketi-Bayah sejauh 89 kilometer pada zaman pendudukan Jepang.

Namun, tak banyak masyarakat tahu mengenai sejarah peristiwa tersebut. Selain kurangnya data yang kredibel, juga banyak pelaku sejarah yang sudah meninggal dunia. Sehingga tak heran, jika Tugu itu terlihat seperti kurang perawatan.

(Gambar Tugu Bayah)